Udara malam itu tajam, menggigit kulit. Langit gelap tanpa bintang, hanya ada lampu jalan yang meredup di kejauhan. Aku melipat lengan baju, menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkan sebatang rokok dari saku.
Jari-jari yang dingin sedikit gemetar saat aku menyalakan api. Begitu bara menyala di ujungnya, asap putih mulai berputar di udara, bercampur dengan embusan napas yang membeku.
Sedikit demi sedikit, panas dari rokok itu merambat ke ujung jari. Aku menyandarkan punggung ke tembok, menatap kosong ke arah jalanan basah yang memantulkan cahaya lampu. Hujan baru saja reda, menyisakan aroma tanah yang bercampur dengan nikotin di lidah.
Isapan pertama terasa begitu dalam, bukan sekadar menghangatkan tubuh, tapi juga mengendapkan pikiran yang berkecamuk. Ada sesuatu yang aneh tentang merokok di cuaca dingin, seakan-akan asap yang keluar lebih pekat, lebih lambat menghilang, seolah ingin bertahan lebih lama di udara.
Di kejauhan, suara klakson samar-samar terdengar. Tapi di sini, dalam sunyi yang aku ciptakan sendiri, hanya ada aku, sebatang rokok, dan malam yang terasa begitu panjang.
Aku menghisapnya sekali lagi, sebelum membuangnya ke tanah yang lembap. Ujung sepatuku menekan bara kecil itu, membiarkan asap terakhirnya menghilang ke udara, bersama dingin, bersama malam, bersama sesuatu yang dulu pernah ada.
Mungkin, beberapa hal memang hanya bisa dihangatkan sebentar, sebelum akhirnya kembali dingin seperti semula.
- Happy Blogging π✋
Tidak ada komentar:
Posting Komentar